Ibu tersenyum....
Ya! Di pelupuk matahati saya tetap dapat melihatkan senyuman ibu yang tulus itu. Senyum buat pertama kalinya di saat saya diberi nyawa. Ketika itu saya masih di dalam pangkuan rahim mesra kendongan ibu. Dari awal diri saya menjadi jalin kecil segumpal daging merah, sehingga semua anggota tubuh saya terbina sempurna selama sembilan bulan.
Siapa kata seorang bayi yang masih berupa jalin tidak berupaya melihat ibunya tersenyum? Saya boleh merasakannya. Sepanjang saya bernaung di perut ibu, saya dapat menikmati senyuman itu. Ibu menggerah senyum pada saya setiap waktu sepanjang tubuh saya membesar di dalam rahimnya. Setiap kali ibu menggelus perutnya yang memadat, dia mencurah senyum manis untuk saya. Setiap kali, ibu berdoa dan berzikir, makan dan minum, tidur dan jaga, justeru sedang menikmati kehamilannya, bibirnya tetap tulus mengukir senyum buat saya. Setiap kali juga di saat kaki saya beraksi menendang perutnya, ibu masih kaget tersenyum. Gara-gara terkejut dengan tendangan saya itu. Setiap jam! Setiap minit! Setiap saat! Setiap detik!
Ya! Ibu tetap mencurah senyum tidak putus kepada saya selama sembilan bulan. Seperti mana dia tak putus menyalur makanan dan darah untuk membina tubuh serta tulang saya agar kuat dan sehat. Seperti mana dia tak putus mendoakan kesejahteraan saya yang bernaung di rahimnya.
Ibu tidak gerah untuk terus mencurah senyum
***
Ibu menyungging senyum.....
Saya masih ingat, detik pertama kali deria mata saya yang masih bayi menatap senyuman ibu. Ya! Saya sudah tidak perlu merasai senyum itu dengan matahati saya lagi, kerana deria mata saya sudah dapat memandangnya.
Saya masih ingat, di saat nubari kecil saya tidak sabar untuk melihat senyuman itu melalui mata sendiri. Saya berusaha meluncurkan tubuh kecil saya keluar dari ruang rahim ibu. Dimana ibu juga ikut berusaha membuka pintu rahimnya lebar-lebar. Seraya meneran sepenuh raga untuk menolak saya keluar dengan sejahtera. Berlanjutan dengan kedua tangan sang doktor yang dengan cermat menyambut tubuh mungil saya yang lendir berdarah.
“Ibu, saya sudah keluar melihat ibu” detak batin saya.
Saya puas dapat menatap ibu. Biar pun pandangan dalam posisi terbalik. Ketika itu sang doktor menegang kedua kaki kecil saya ke atas dan membiarkan kepala saya tergantung-gantung menerawang ke bawah. Seperti sedang membuat terjunan buggy jumping. Wah! Doktor itu agak keterlaluan. Dia lantas terus memukul-mukul punggung kecil saya. Membuat saya kaget lalu menangis. Meraung dengan mata yang samar-samar kebasahan menatap paras ibu yang tersenyum lemah. Senyumannya lemah sekali. Barangkali terlalu letih bertarung untuk menolak saya keluar dari rahimnya tadi.
Setelah saya dimandi dan dibedak, saya dibawa mendekati tubuh ibu. Di saat ini deria mata saya sudah jelas untuk melihat seraut wajah ibu. Ibu membuka kantung susunya. Ibu membaringkan saya di dadanya dengan penuh mesra, seraya menyuap puting susunya ke bibir mungil saya. Saya mengerling sorot wajah ibu ketika itu dalam situasi perasaan yang membuai. Terlena mabuk kerana kenikmatan meneguk susu ibu yang lemak manis. Terhalusinasi disaat telinga saya dapat menyelami degupan jantung ibu apabila kepala kecil saya ditekap ke dadanya dengan kasihsayang.
Ibu menyenyum lemah dengan air-air bening membasahi kedua pelupuk matanya. Bergulir sendu menuruni lurah pipinya yang kenyal. Ibu senyum dalam tangis penuh syukur!
***
Ibu bersenyum riang......
Hari demi hari yang dititi melihatkan saya membesar di hadapan matanya, ibu tak putus menyungging senyum riang. Waktu demi waktu yang dilalui melihat saya berkembang dewasa, membuat ibu tak gerah menghargai erti senyum itu. Matanya tersenyum. Bibirnya rekah senyum. Pauh pipinya menyungkit senyum. Parasnya juga. Malah seluruh anggota tubuh ibu tulus beriak senyum bangga. Tidak terkecuali hati keibuannya.
Saya merakam seribu makna indah di saat mencapai jejak demi jejak kecil tumbesaran saya. Bermula dengan bergerak dengan empat anggota berupa dua lutut dan dua telapak tangan. Merangkak mengejar bayangan ibu. Berterusan dengan bertatih-tatih mencorak warna-warna hidup dengan ke dua telapak kaki di atas kanvas putih muda. Merah berlangsung jingga. Putih mengerah kuning. Biru menjadi unggu. Hijau menyamar indigo. Ya! Saya mengukir swarna pelangi dengan telapak kaki kecil saya. Di sisi ibu yang sentiasa teliti menjaga, agar tiada warna hitam dan kelabu duka menupuk disana.
Dari bertatih-tatih, saya langsung berjalan perlahan menuju gapaian padu pelukan ibu. Ibu menyenyum bangga setiap kali saya berhasil berjalan ke pangkuannya. Seperti mana ibu ikut tersenyum seraya tertawa riang, ketika mengkabarkan tumbesaran cemerlang saya kepada semua keluarga. Sanak-saudara. Jiran-tetangga. Kawan-kawannya. Malah kalau boleh ingin berteriak kepada burung-burung lelayang di langit muka. Kepada gumpalan angin yang beralun-alun. Kepada matahari yang teguh menyuluh sinar. Agar gembira hatinya boleh terdengar ke seluruh dunia.
“Dunia! Anakku sudah mampu berjalan hari ini!”
Dan saya terus berjalan dan berjalan. Langsung berlari. Tanpa menoleh ke dunia kenangan di belakang saya. Bersama restu ibu.
***
Ibu tersenyum haru......
Hari ini saya mulai berganjak ke pintu dunia luar yang masih memerah jingga di hadapan saya. Mencorak warna-warna kehidupan yang sebenar-benarnya. Belajar mengenal warna-warna lain selain serakan spektrum pelangi. Meninggalkan dunia lingkungan ibu. Meninggalkan pangkuan ibu, di saat saya belajar berjalan berpautan ibu, makan-minum bersuapan ibu, bermain boneka indah tenunan ibu dan dunia kecil penuh kemanjaan saya.
Saya akan ke sekolah! Ibu bilang seorang ibu kedua yang digelar ‘guru’ akan mula meneruskan tugas mendidik saya. Bersama teman demi teman yang bergalur waktu demi waktu yang akan mengajar saya erti persahabatan serta betapa besarnya lingkungan dunia.
Benak ibu penuh dengan riak bangga pada ketika ini. Ibu membelikan saya sepatu baru, pakaian baru dan saputangan baru. Tak lupa peralatan-peralatan baru yang masih tidak tercemar untuk memenuhi ‘hidup baru’ saya ini. Ibu membangunkan saya di awal-awal pagi. Dikala matahari masih malu-malu menonjolkan diri. Disaat awan muda mulai beralun di sela-sela lazuardi bernuansa jingga. Bersama bulan yang juga makin menjatuh dari tangkai waktunya. Ibu memandikan saya bersih-bersih dengan gayung semangat pagi. Membedakkan dan menyarungkan pakaian baru ke tubuh saya bersama raga yang menyerlah harapan. Rambut saya disisir kemas dengan nubari yang tawakal.
Dan saya melangkah keras penuh jati diri, bersama senyum haru ibu.
***
Ibu menyenyum hambar dalam kelat..........
Saya tak akan dapat melupakan gemurat senyum ibu ini seumur hidup saya. Saya sudah menjelang usia 16 tahun. Masih muda untuk mengenal erti luka bila di sakiti. Erti duka bila diberi takdir yang memburuk. Juga erti nelangsa bila dimusuhi orang yang disayang. Saya juga belum boleh memahami apa maksud cinta yang sebenar-benarnya. Haruskah ada saling menyakiti disamping semekar cinta? Haruskah ada saling berhambur kata-kata kesat disamping rasa hati yang menggebu rindu? Haruskah ada peraniayaan berdarah parah di saat kasih sedang semarak merah? Saya keliru dengan cinta.
Ibu terlantar di hospital selama dua minggu. Dengan kesan luka berdarah di ubun-ubun kepalanya. Berjahit luka di mata kiri dan sedikit di ulas bibir. Mata kiri yang membengkak biru. Lebam kehijauan di leher, belakang tubuh, lengan tangan dan di paha kiri. Malah tangan kanan harus disimen kerana patah tulangnya. Hati saya terlonjak panik.
Saya tak dapat menerka apa gejolak di fikiran ayah sehingga tega menyeksa sekujur tubuh ibu. Saya juga tak pernah mampu mengenal fiqura ayah. Ayah muncul tenggelam timbul di bait-bait kehidupan saya dan ibu. Jarang pulang ke pangkuan kami. Bertanya kabar jauh sekali. Ibu tidak pernah sekali pun menyentuh isu itu, apatah lagi memprotesnya. Lantas kenapa ibu harus menerima derita luka ini? Adakah ayah mabuk dunia? Atau ayah tidak waras kerana terlalu rakus menghirup syurga dunia? Saya bingung untuk akur mengerti.
Saya mendekati tubuh ibu bersama seribu kelu di nubari. Haru melihatkan sekujur tubuh yang saya cintai itu terlebur luka. Pilu mengenangkan batin ibu yang melara dalam diam. Hati saya meriak sakit. Seakan ada tangan kekar yang mencubit berat ulu hati saya mempusar ngilu. Saya elus ubun-ubun ibu. Saya genggam jari-jemari ibu dengan padu.
“Ibu, haruskah cinta ayah sehingga melahar begini?”
Batin saya meringgis dalam tangis. Ibu seka air mata saya dengan tangan kasihnya. Ibu gerahkan senyuman pada saya. Dari balik bibirnya yang terpamer parut-parut luka. Dengan paras yang membengkak di mana-mana. Mata ibu menyorot tajam ke dalam wajah saya. Mata abu-abu yang membundar indah itu berkaca-kaca. Seakan cuba menelan segala kepiluan jiwa saya di saat itu.
“Jangan menangis, nak! Dunia ini penuh warna. Tiada satu warna hidup yang kekal seadanya. Kini mungkin takdir warna hitam sedang menyelubungi. Namun percayalah, warna-warna muda ceria itu pasti akan menyusuli”
Saya tenggelam dalam sendu. Senyuman ibu yang menggerah hambar penuh kelat saya tatapi. Bundar matanya yang berkaca-kaca saya ratapi dengan jiwa nan parah.
Senyuman yang akan saya ingati seumur hidup saya
***
Ibu tersenyum pasrah.......
Semenjak pulang dari wad hospital yang menjadi saksi berdarah dalam hidupnya, ibu terlihat tetap tenang. Wajah ibu tetap damai menempuh hari demi hari kehidupan kami. Seakan kepedihan lama itu sudah dibuangnya jauh-jauh dari ruang memori. Tak mahu diingat lagi! Biarpun, saya masih lagi bergelut dengan trauma kepada ayah.
Ayah seakan tahu diri. Setelah peristiwa itu, ayah tak pernah muncul-muncul lagi. Seperti ghaib ditelan bumi. Ayah persis sudah membuang fiqura kami sepenuh hatinya. Biarpun saya tahu ayah masih ada di daerah yang sama. Saya pernah terserempak ayah dengan perempuan yang baru. Juga bersama anak kecil yang baru. Malah kawan-kawan saya juga pernah memperkatakannya. Saya akur ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya. Dan warna-warna ceria sedang mengelilingi dunia mereka. Saya teringat kata-kata ibu. ‘Tiada satu warna pun yang kekal dalam hidup kita seadanya’. Lantas fikiran nakal saya bermain-main di cepu kepala, ‘Warna kelam hitam pasti akan muncul setelah warna ceria, terutamanya pada orang yang bersifat aniaya!’
Tahun demi tahun, ibu tetap berteleku dalam hidupnya seakan sudah mendapat gelaran janda. Padahal ayah tidak pernah menceraikannya. Apatah lagi ayah menghilangkan diri begitu sahaja. Ayah tidak pernah peduli pada kewujudan ibu. Begitu juga saya, anak dari benihnya. Ibu digantung tidak bertali. Dan saya sekali lagi tidak dapat mengerti kewibawaan ibu. Ibu seperti selalu tidak pernah memprotes, mempertikaikan apatah lagi memperhitung nilai dirinya. Selalu saya mendesak. Selalu saya memberontak. Dan selalu juga saya mengelojakkan rasa hati saya di atas nasib dan harga diri ibu.
“Biarlah...”
Jawab ibu.
Dan dari ulas bibirnya, terguras senyuman pasrah.
***
Ibu tersenyum bangga........
Memori saya tidak pernah dapat memadamkan semburat senyum ibu ini. Paras ibu yang terlihat tenang. Matanya yang bersinar cerah dibalik manik-manik suci jernih yang bergulir satu persatu di lurah pipi kendurnya dengan penuh haru. Senyumnya juga mengambang penuh. Dengan kedua ulas bibirnya yang terbuka semekar ceria. Menampakkan susunan gigi putihnya yang berseri bagai serlahan mutiara. Semburat senyum itu amat membahagiakan.
Saya sudah bergerak dewasa pada ketika ini. Juga akan mengalur hidup saya dengan sebuah perkahwinan. Bersama seorang lelaki yang saya yakin amat menyintai saya. Zahir dan batin.
Saya masih ingat tatapan ibu pada saya di saat acara pernikahan sedang berlangsung. Ibu genggam padu jari jemari saya. Adakalanya ibu peluki mesra tubuh saya menyulam mesra.
“Ingatlah, nak! Tiada hanya satu warna yang akan menyelubungi seumur hidup kita. Hidup kita tertiti bersama serakan seribu satu warna. Jadi, jangan hanya memandang warna-warna kelam kehidupan kita! Gapai juga warna-warna yang cerah, di langit muka”
Tatapan mata tua ibu seakan memberi amanat. Seakan memindahkan ketabahannya ke mata bundar saya. Menyelusuri dingin persis disirami titisan embun ke ubun-ubun kepala. Menjelajahi rakus ke segenap hati. Lantas membina kekuatan padu di sanubari.
Senyuman ibu menggambarkan kepuasan hatinya. Seakan puas telah berjaya membimbing diri saya dengan sempurna sehingga dewasa. Puas mengajarkan saya erti warna-warna kehidupan untuk terus berdikari. Puas membina teguh semangat diri saya agar tidak berintih kala menoleh warna-warna kelam dibelakang hari. Puas dengan rela melepaskan relung lingkungan hidup saya kepada lelaki itu. Lelaki yang dia yakini dapat memberi nafas dan cinta pada saya untuk kehidupan yang seterusnya. Lelaki yang menjadi suami saya kini.
Ibu mengogah senyuman tenang. Bersama jiwanya yang tersemat damai sejahtera.
***
Ibu tersenyum goyah...
Saya masih cuba menyelami jenis senyuman ibu ini. Seperti memiliki maksud yang tersirat di sebalik ulas bibirnya yang seakan goyah tersenyum. Tidak hambar. Tidak gembira. Tidak juga dalam nada keharuan. Senyuman yang penuh rahsia.
Saya dan suami bergegas ke hospital setelah mendengar berita itu. Kabar buruk yang disampaikan lewat telefon oleh jururawat hospital atas gesaan ibu. Ayah dan keluarga barunya ditimpa kemalangan. Kereta mereka remuk ditabrak lori tanah ketika baru pulang bercuti di pantai timur. Isteri dan anak kecilnya (Haruskah saya memanggilnya adik?) direnggut ajalnya serta-merta. Daging mereka tergilis hancur disepit dinding kereta mewah ayah yang turut musnah. Ayah pula terkedang kaku di wad hospital. Tuhan memberikan keajaiban kerana membuatkan ayah masih terus bernyawa. Itu kata doktor. Dan jauh di lubuk hati saya berkata, ‘sebenarnya tuhan memberikan ayah kesempatan terakhir’. Kesempatan untuk apa ya? Hanya hati saya yang dapat menerkanya.
Kami bertemu ibu yang duduk terpekur di bangku ruang menunggu berhadapan bilik rawatan ayah. Ibu memeluk erat tubuh saya dalam seribu keharuan. Ibu menguras senyumnya yang itu. Senyuman rahsia. Tiada air mata. Tiada pelupuk mata yang berkaca-kaca. Tiada sinar ceria juga di bening mata tua itu. Sungguh rahsia.
Saya tertanya-tanya dalam hati, apa rahsia dibalik senyuman itu.
Adakah senyum itu bertanda puas? Puas kerana tuhan sudah membidas dosa ayah yang menyakiti kehidupan mereka selama ini. Saya yakin, ibu bukan seorang pendendam. Saya kenal luhur hati ibu.
Adakah senyum itu bertanda syukur? Syukur kerana seluruh anggota keluarga baru ayah sudah sampai ajalnya dan ayah pasti akan kembali pada mereka. Saya pasti, ibu sudah belajar dari kesilapan lalunya. Hati ibu masih jera dengan sikap ayah dan sukar untuk menerimanya kembali. Saya yakin tentang itu.
Adakah senyum ibu petanda pasrah? Pasrah memikirkan diri akan menjadi balu setelah ayah menemui ajalnya nanti.Pasrah akhirnya terlepas dari gelaran ‘gantung tak bertali’ itu. Saya yakin ibu sudah lama pasrah tentang takdir dirinya. Ibu sudah lama redha.
Saya masih tidak dapat menjawabnya, biarpun fikiran saya diperas untuk itu. Ia terus menjadi rahsia di hati ibu.
Ibu menggenggam tangan saya. Saya ditarik agar menemaninya masuk ke bilik rawatan ayah. Benak saya berdebar-debar. Hati dilanda seribu kekeliruan. Saya hanya mampu berdiri di hadapan katil ayah sahaja. Tak mampu untuk terus melangkah mendekati. Hati saya kosong.
Mata saya lesu memandang ibu yang terus duduk di sisi kanan ayah. Menggelus kura tangan ayah yang terlantar lemah. Ayah membuka pelupuk matanya. Mata mereka saling bertatap. Ayah menghamburkan tangis isaknya. Airmata ayah tidak putus-putus mengalir membasahi seluruh wajah dan bantal putih yang memangku di kepala. Ibu terus mengelus-elus kura tangan ayah seakan menenangkannya. Wajah ibu masih bersenyum seperti itu tanpa airmata. Tanpa isak tangis, mahu pun mata yang berkaca-kaca. Begitu tenang. Mereka saling bertatapan seakan berbicara secara batin. Hanya mereka sahaja yang tahu. Dan situasi itu berlangsung setelah ayah kembali menutup kelopak matanya tidak lama kemudian. Ajal menjemputnya dengan wajah tenang yang masih dibasahi sisaan air mata. Tangannya yang masih menggenggam erat jari-jemari ibu.
Dan saya sudah dapat menangkap rahsia itu
Senyum ibu penuh kemaafan
***
Senyum terakhir ibu
Saya masih ingat peristiwa syahdu itu. Ibu sudah terlalu tua. Tubuhnya yang dimamah usia mulai melemah untuk beriak aktif seperti biasa. Ibu terlantar sakit meniti hari tuanya di bilik rumah saya. Saya yang menjaganya kini. Menyuapkan makan dan minumnya dengan penuh telaten. Memandikan ibu dengan air semangat kehidupan. Juga menjaga setiap situasi kepikunan dirinya dengan penuh ketabahan.
Ya! Dunia kehidupan itu seperti warna demi warna yang sering berputar ganti. Saya membalas jasa ibu memelihara warna-warna kehidupan muda saya dulu dengan ikut menjaganya pula kini. Saya memenuhi rutin diri saya menemani ibu mewarnai detik-detik tuanya. Warna-warna yang sudah kelam untuk kembali memutih, bersedia untuk menemui Sang Penciptanya
Kini sudah dua bulan ibu bersemadi. Dua bulan lalu, ibu tidur nyenyak dan tidak bangun-bangun lagi setelah pagi menjelang. Ibu pergi dalam tidurnya yang aman. Tanpa rintihan sakit dijemput ajal. Tiada keluhan nazak. Wajah ibu tenang persis bersenyum seperti biasanya. Senyum persis bayi tampa cela dosa. Damai di pagi hari itu seakan merelakan pemergian ibu ke alam barkah.
‘Saya akan meneruskan senyuman ibu itu. Akan juga meneruskan cerita rahsia warna-warna ibu itu pada generasi seterusnya’.
Saya elus mesra perut memboyot saya yang sudah sarat lapan bulan dengan pautan hati yang damai. Wajah saya menguras warna senyum yang sama.
Seperti ibu...
*****